Keterangan di atas, dipahami bahwa subyek dakwah adalah setiap muslim, laki-laki dan perempuan, baligh dan berakal “tanpa syarat” ulama atau cendekiawan muslim. Karena kewajiban berdakwah, seperti telah dijelaskan dalam hukum dakwah, sudah merupakan beban atau tuntunan atas setiap muslim seluruhnya. Hanya saja untuk lebih mantapnya dakwah, para ulama cenderung sepakat untuk menyajikan ajaran Islam secara lebih terinci, karena mereka memiliki kompetensi untuk itu,[1]
seperti dapat dipahami dari surat Yusuf:108, yaitu :
[1] ‘Abdul al-Karim Zaidan, op.cit., jilid II, h. 6
هَذِهِ سَبِيلِي أَدْعُو إِلَى اللَّهِ عَلَى بَصِيرَةٍ أَنَا وَمَنِ اتَّبَعَنِي وَسُبْحَانَ اللَّهِ وَمَا أَنَا مِنَ الْمُشْرِكِينَ
Artinya : Katakanlah: “Inilah jalan (agama) ku, aku dan orang-orang yang mengikutiku mengajak (kamu) kepada Allah dengan hujjah yang nyata, Maha Suci Allah, dan aku tiada termasuk orang-orang yang musyrik”.
Dalam kaitan ini, Ibn Kasir dalam menafsirkan ayat ini, antara lain mengatakan, Allah telah berfirman kepada Rasul-Nya untuk menyampaikan agama kepada manusia; Inilah jalan saya, jalan agama dan sunnahnya. Dia dan orang-orang yang mengikutinya menyeru kepada yang diseru oleh Rasul berdasarkan keterangan yang jelas dan dikuatkan dengan bukti dalil akal serta agama.[1]
Dengan demikian, dipahami bahwa selain para rasul itu merupakan subyek dakwah yang dipilih langsung oleh Allah, juga subyek (perintah berdakwah) itu ditujukan kepada seluruh umat beriman.[2] Untuk itu, dapat ditegaskan bahwa subyek dakwah adalah mencakup setiap muslim dari seluruh lapisan masyarakat tanpa kecuali, laki-laki dan perempuan dengan tingkat kemampuannya masing-masing, kapan dan di manapun mereka berada.
[1] Ibn Katsir, op.cit., Jilid II, h. 195-6
[2] Ahmad Musthafa al-Maraghi, op.cit, Jilid VIII, h. 130
Masalah dai:
Selama ini kegiatan al-da’i masih menghadapi berbagai tantangan, yaitu : (1) meningkatnya kerusuhan yang membawa simbol-simbol agama; (2) gerakan dakwah kurang terencana dan kurang terkoordinasi; (3) gerakan al-da’i belum sepenuhnya memadai, kurang mampu mengidentifikasi dan menjawab kebutuhan-kebutuhan aktual umat; (4) ada kecenderungan menampilkan wajah Islam ke dalam potret diri yang menakutkan; (5) dakwah yang disampaikan al-da’i lebih banyak dilakukan dalam bentuk dakwah bi al-lisan, sementara sangat kecil porsinya dalam bentuk dakwah bi al-qudwah wa al-tahbiq (tindakan nyata dan peragaan); (6) kurang ada evaluasi terhadap kegiatan dakwah, sehingga tidak banyak diketahui kegagalan, kelemahan dan keberhasilannya; (7) yang terpenting al-da’i hampir tidak terperhatikan oleh umatnya, sehingga hidup mereka terlunta-lunta kemana-kemana yang secara terpaksa menjadikan jama’ah sebagai komuniti ekonomi, bahkan tidak jarang menjadikan umat sebagai sasaran politik pada konstestan tertentu.
SYARAT-SYARAT AL-DA’I DAN ETIKANYA
Dalam melaksanakan dakwah Islam, da’i memegang peranan penting dalam upaya membawa orang lain kepada Islam, selain itu da’i harus mampu berkomunikasi dengan masyarakat luas secara baik. Kemampuannya itu bukan hanya ditentukan oleh pandai berkumunikasi saja, akan tetapi juga dapat memperlihatkan sikap, tindak-tanduk dalam masyarakat. Oleh sebab itu juru da’i harus memiliki persyaratan-persyaratan dan perlengkapan yang istimewa.
Dalam hal ini persyaratan yang harus dimiliki oleh juru da’i adalah sebagai berikut:
- Mengetahui tentang al-Qur’an dan Sunnah Rasul sebagai pokok agama Islam.
- Memiliki pengetahuan Islam yang berinduk kepada al-Qur’an dan Sunnah, seperti tafsir, ilmu hadis, sejarah kebudayaan Islam dan lain-lain.
- Memiliki pengetahuan yang menjadi alat perlengkapan dakwah, seperti teknik dakwah, ilmu jiwa (psikologi) sejarah, antropologi, perbandingan agama dan sebagainya.
- Memahami bahasa umat yang akan diajak kepada jalan Allah, demikian juga ilmu retorika dan kepandaian berbicara atau mengarang.
- Penyantun dan lapang dada, karena apabila dia keras dan sempit pandangan maka akan larilah manusia meninggalkan Allah.
- Berani kepada siapapun dalam menyatakan, membela dan mempertahankan kebenaran. Seorang muballigh yang penakut, bukannya dia yang dapat mempengaruhi masyarakat ke jalan Tuhan, melainkan dialah yang akan terpengaruh oleh masyarakat itu.
- Memberi contoh dalam setiap kebajikan supaya paralel kata-katanya dalam tindakannya.
- Berakhlak baik sebagai seorang muslim, umpamanya tawadhu’, tidak sombong, pemaaf dan ramah tamah.
- Memiliki ketahanan mental yang kuat (kesabaran, keras kemauan, optimis walaupun menghadapi berbagai rintangan dan kesulitan.
- Ikhlas berdakwah karena Allah mengikhlaskan amal dakwahnya semata karena menuntut keredhaan Allah Swt.
- Mencintai tugas dan kewajibannya sebagai da’i dan muballigh dan tidak gampang meninggalkan tugas tersebut karena pengaruh-pengaruh keduniaan.
Selanjutnya Moh. Natsir menjelaskan pula tentang syarat-syarat yang harus dimiliki oleh juru da’i sebagai berikut:
- Seorang Muballigh hendaklah/ haruslah mampu memelihara ketenangan dan keseimbangan jiwa dan sanggup mengendalikannya bila keseimbangan tersebut terganggu.
- Para pembawa dakwah jangan sesak dada/ nafas apabila ada orang yang menolaknya, mendustakan, mencemoohkannya serta menolak, menyakiti dirinya sebagaimana yang dialami Rasul menyampaikan segala wahyu sekalipun manusia tidak suka pada isinya, menyembunyikan sebagian wahyu atau sebagian keterangan karena dia beranggapan pendengar tidak suka mendengarkannya.
- Bersyukur apabila pekerjaan/ dakwahnya berhasil kepada Allah dengan rasa syukur sebagai kebahagiaan rohani yang tinggi.
- Memiliki sifat sabar, tawakkal, tatsamuh (toleransi), tenggang rasa, dengan arti mempunyai hati yang tabah, keuletan melakukan tugas.
- Jiwa merdeka dan ananiyah, putus asa dengan cobaan, takabur dengan kemenangan, akibatnya menimbulkan hubbul mal, ingin kaya, ingin pangkat/ kedudukan, ria dan ‘ujub untuk memperoleh balas jasa lahir dan bathin.
Di samping syarat-syarat yang sudah dikemukakan di atas, seorang da’i juga harus mempersiapkan diri dengan penuh kematangan, baik mental maupun ilmu, agar jangan sia-sia dalam melaksanakan tugas. Persiapan pokok yang harus dimiliki oleh seorang da’i tersebut disebut dengan istilah tafaqquh fi al-Din dan tafaqquh fi al-Nas. Memang sudah suatu kenyataan bahwa seorang da’i akan selalu menghadapi tantangan dan halangan, kadang-kadang orang yang diberi dakwah menerima dengan penuh kesadaran, kadang-kadang ada yang menolak mentah-mentah, bahkan ada yang mencemoohkan da’i itu. Untuk itu memerlukan ketabahan dan kesabaran yang mendalam, dan tidak boleh putus asa.