Fenomena Da’i Antara Kebutuhan Ekonomi dan ‘Izzah Dakwah

……. subyek dakwah adalah setiap muslim, laki-laki dan perempuan, baligh dan berakal “tanpa syarat” ulama atau cendekiawan muslim. Karena kewajiban berdakwah, seperti telah dijelaskan dalam hukum dakwah, sudah merupakan beban atau tuntunan atas setiap muslim seluruhnya……

  1. Al-Da’i

Pengenalan orang terhadap istilah tidak selalu menjadi jaminan bahwa ia itu dapat memahaminya dengan baik pengertian yang terkandung dalam istilah tersebut. Demikian pula terhadap istilah da’i, meskipun istilah ini sudah dikenal dalam masyarakat.

Di bawah ini akan penulis kemukakan beberapa pendapat para ahli tentang pengertian da’i tersebut sebagai berikut:

Dar El-Mushreq

Menurut Dar El-Mushreq dalam bukunya Munjidul at-Thulab menjelaskan tentang pengertian da’i itu adalah:  Orang yang bertugas mengajak manusia kepada agama Islam atau mazhabnya.[1] Pendapat ini sejalan dengan al-Bayanuni, yaitu penyampai Islam, mengajarkannya dan membawa seseorang untuk mengikutinya.[2]


[1]Dar El-Mushreq, Munjidul at-Thulab, Beirut, Al-Maktabah as-Syarqiyah, 1974, h. 389

 [2]Muhammad Abu al-Fatah Al-Bayanuni, al-Madkhl Ila Ilm al-Dakwah, Muassasah  al-Risasalah, Beirut, 1995, h. 40

Dari pengertian di atas dapat dipahami bahwa da’i adalah orang perorangan dan atau lembaga/badan yang bertugas membawa orang lain kepada jalan kebenaran dilakukan melalui hikmah, maw’izhah dan mujadalah al-lati hiya ahsan, baik oleh pemimpin, pengarang/penulis ataupun oleh siapapun sesuai dengan profesinya berusaha meningkatkan, pemurnian kalbu dan mengembangkan kesadaran orang perorangan dan masyarakat pada agama Islam dan bersedia mengamalkannya. Pengertian di atas, memberi isyarat bahwa setiap orang yang mengajak manusia kepada yang baik, dan mencegah dari perbuatan yang keji atau perbuatan mungkar adalah da’i.

Hal ini dijelaskan oleh firman Allah Swt. dalam surat al-Taubah ayat 71 yang berbunyi sebagai berikut:

وَالْمُؤْمِنُونَ وَالْمُؤْمِنَاتُ بَعْضُهُمْ أَوْلِيَاءُ بَعْضٍ يَأْمُرُونَ بِالْمَعْرُوفِ وَيَنْهَوْنَ عَنِ الْمُنْكَرِ وَيُقِيمُونَ الصَّلَاةَ وَيُؤْتُونَ الزَّكَاةَ وَيُطِيعُونَ اللَّهَ وَرَسُولَهُ أُولَئِكَ سَيَرْحَمُهُمُ اللَّهُ إِنَّ اللَّهَ عَزِيزٌ حَكِيمٌ

Artinya: Dan orang-orang yang beriman pria dan wanita bergotong royong satu sama lain, menyuruh yang ma’ruf melarang yang mungkar, mendirikan shalat serta membayarkan zakat dan taat kepada Allah dan Rasul-Nya, kepada mereka itu Allah akan memberikan kurnia-Nya, sesungguhnya Allah Maha Perkasa, Maha Bijaksana.

Ayat tersebut di atas secara umum menyatakan bahwa yang menjadi da’i itu adalah seluruh kaum muslimin baik laki-laki maupun wanita, bergotong royong bersama-sama menyuruh yang ma’ruf dan melarang perbuatan yang mungkar, mendirikan shalat, melaksanakan zakat dan beriman kepada Allah dan Rasul-Nya, itulah orang-orang yang sukses pada sisi Allah Swt.

Pada ayat surat al-Ahzab 45-46 tugas juru dakwah identik dengan tugas para nabi-nabai Allah yaitu seperti firman-Nya yang berbunyi :

يَاأَيُّهَا النَّبِيُّ إِنَّا أَرْسَلْنَاكَ شَاهِدًا وَمُبَشِّرًا وَنَذِيرًا(45)وَدَاعِيًا إِلَى اللَّهِ بِإِذْنِهِ وَسِرَاجًا مُنِيرًا

Artinya : Hai Nabi sesungguhnya kami mengutusmu untuk jadi saksi, dan pembawa kabar gembira dan pemberi peringatan, dan untuk jadi penyeru kepada Agama Allah dengan izin-Nya dan untuk jadi cahaya yang menerangi.

Ayat di atas sangat jelas sekali bahwa tugas da’i adalah sebagai saksi, pembawa khabar gembira dan khabar pertakut dan jadi penerang bagi kehidupan manusia. Kalaupun pada surat Ali Imran 103 Allah Swt. mempertegas bahwa melaksanakannya merupakan kewajiban bagi setiap pribadi muslim dan muslimat,[1] sesuai dengan keahlian dan kemampuannya. Pendapat ini didasari  kepada  pemikiran mufassir dalam memberikan interpretasi terhadap kalimat امة     ولتكن منكمpada surat Ali Imran: 104 bahwa  kalimat min pada minkum menunjukkan makna li al-bayân (penjelasan), bukan bermakna li al-tab’îdh, sedangkan kata ummat diartikan dengan al-jama’ah (seluruh manusia). Sehingga  konsekwensi melaksanakan dakwah adalah bagi semua orang muslim.[2] Pendapat ini sejalan dengan Rasyid Ridha, bahwa melaksanakan dakwah adalah kewajiban bagi setiap pribadi muslim sesuai dengan keahliannya.[3] Namun bukan berarti menafikan  pendapat lain yang mengatakan bahwa melaksanakan  dakwah adalah ditujukan kepada segolongan tertentu.[4]


[1]Muhammad Abû Zahrah, al-Da’wah ila al-Islâm, (Ttp:. Dâr al-Fikr al-‘Arabî, tt).  h. 33-4 dan 129.

[2]Muhammad Abû al-Fatah al-Bayânûnî, al-Madkhal Ilâ ‘Ilm al-Dakwah, (Beirut: Muassasah al-Risâlah, 1991), h. 31

[3]Muhammad Rasyîd Ridhâ, Tafsîr al-Qur’ân al-Hakîm (disebut Tafsîr al-Manar), (Beirut:  Dâr al-Ma’rifat,  tt).  Juz.  IV, h.26-7

 [4]Ahmad Mushthâfâ al-Marâghî, Tafsîr al-Marâghî, (Beirut: Dâr al-Fikr, 1973), jilid 2, h. 22