Landasan Dakwah & Pemberdayaan Masyarakat Islam

Oleh Zilfaroni, M.A | Dosen Fakultas Dakwah dan Ilmu Komunikasi

Proses pemberdayaan yang yang ditawarkan dan diibaratkan sebuah pendidikan melalui 2 hal yaitu:

Pembebasan

Pendidikan haruslah berorientasi kepada pengenalan realitas hidup manusia dan dirinya sendiri.Yaitu pendidikan yang membuat manusia berani membicarakan masalah-masalah lingkungannya dan turun tangan dalam lingkungan tersebut. Dan bukan pendidikan yang menjadikan manusia patuh kepada keputusan-keputusan orang lain.

Oleh karena itu, pendidikan harus melibatkan 3 (tiga) unsure yaitu guru, murid dan realitas dunia. Guru dan murid adalah merupakan subyek yang sadar (cognitive) dan yang realitas dunia adalah obyek yang tersadari atau disadari (cognizable).

Proses pendidikan merupakan suatu daur bertindak dan berfikir yang berlangsung terus menerus. Dengan daur belajar seperti ini, setiap anak didik secara langsung dilibatkan dalan masalah-masalah realitas dunia dan keberadaan mereka didalamnya. Karena itu pendidikan ini juga disebut pendidikan terhadap masalah. Anak didik menjadi subyek yang belajar, subyek yang bertindak dan berfikir, dan pada saat bersamaan berbicara menyatakan hasil tindakan dan buah pikirannya.

Begitu juga sang guru. Jadi murid dan guru saling belajar satu sama lain dan saling memanusiakan. Dalam hal ini guru mengajukan bahan untuk pertimbangan oleh murid dan didiskusikan bersama sang guru. Hubungan keduanya pun menjadi subyek-subyek, bukan sunyek-obyek. Obyeknya adalah realitas yang ada. Sehingga terciptanya suasana dialogis yang bersifat inter subyek untuk memahami suatu onyek bersama.

Model pembebasan tersebut, implikasinya terhadap pengembang masyarakat adalah pengembang masyarakat tidak membuat program begitu saja tanpa mengajak bicara dengan warga masyarakat. Oleh karena itu, kalau banyak proyek yang tidak bisa dirasakan oleh masyarakat maka program itu hanya dirumuskan oleh pengembang tanpa memperhatikan kebutuhan masyarakat tetapi hanya mementingkan kebutuhannya sendiri.

Penyadaran

Pembebasan dan pemanusiaan manusia, hanya bisa dilaksanakan, jika seseorang telah menyadari realitas dirinya sendiri dan lingkungan sekitarnya. Seseorang yang tidak menyadari realitas dirinya dan dunia sekitarnya, tidak akan pernah mampu mengenli apa yang sesungguhnya ingin dicapai. Memahami realitas diri dan dunia sekitar adalah merupakan fitrah kemanusiaan dan pemahaman itu sendiri adalah penting baginya.

Proses asal yang dianggap paling penting adalah “penyadaran” (konsientisasi) seseorang pada realitas dirinya dan dunia sekitarnya. Oleh karena itu pendidikan Freire disebut juga pendidikan penyadaran, atau metode konsientisasi.

Karena pendidikan adalah suatu proses yang terus menerus mulai dan mulai lagi, maka proses penyadaran merupakan proses yang inheren dalam keseluruhan proses pendidikan itu sendiri. Dunia kesadaran seseorang memang tidak boleh berhenti dan mandeg, ia mesti berproses terus, berkembang dari satu tahap ke tahap berikutnya, dari tingkat kesadaran naif sampai ke tingkat kesadaran kritis.

Dalam teori disebutkan macam-macam tingkat kesadaran, yaitu:

  • Tingkat kesadaran terendah disebut intransitive consciosness. Yaitu perhatiannya terikat pada kebutuhan pokok, terikat pada kebutuhan jasmani dan tidak sadar akan sejarah, tenggelam dalam masa kini yang menindas.
  • Semi intrasitivy atau magical consciosness. Dalam level ini orang meninternalisasikan nilai-nilai negatif dan sangat terpengaruh oleh emosi.
  • Naive consciosness dimana orang mulai mempertanyakan tentang situasi hidup tetapi naif dan primitive.
  • Critical consciosness yaitu merupakan tahap yang dicapai melalui proses penyadaran yang ditandai dengan kedalaman menafsirkan masalah-masalah, percaya diri dalam diskusi-diskusi, kemampuan menerima dan menolak untuk mengelak dari tanggung jawab.

Hal ini karena belajar adalah proses dimana orang bergerak maju dari tingkat kesadaran yang lebih rendah menuju tingkat kesadaran yang lebih tinggi.

Landasan Normatif dalam Pemberdayaan Masyarakat

Norma adalah untuk memberikan petunjuk kepada manusia bagaimana seseorang harus bertindak dalam masyarakat serta perbuatan-perbuatan mana yang harus dijalankannya, dan perbuatan-perbuatan mana yang harus dihindari. Landasan normative sama dengan landasan ilmiah atau dasar yang digunakan sebagai dasar dalam pengembangan masyarakat yang mengarah kepada perubahan dan perbaikan atau peningkatan kesejahteraan yang telah lama ada. Adapun landasan normative yang digunakan dalam pemberdayaan masyarakat adalah Al-Qur’an dan Hadits. Dengan tokoh pembaharuannya adalah Nabi Muhammad Shallallahu’alaihi Wasalam.

Adapun pokok-pokok pengembangan masyarakat yang diajarkan beliau adalah Perubahan itu dimulai dari diri pribadi. Perubahan itu mengarah kepada perbaikan hidup Perubahan itu memerlukan waktu “musyawarah” sebagai cara untuk mencapai perubahan kabar gembira (kesejahteraan hidup yang baik) dan penyadaran adalah materi pengembangan

Landasan Filosofis dalam Pemberdayaan Masyarakat

Landasan atau dasar pengembangan masyarakat yang ditinjau dari segi filosofisnya. Sehingga paradigma pengembangan masyarakat yang kurang berorientasi pada potensi dan kemandirian sumber daya manusia akan menyebabkan kemiskinan, kebodohan dan keterbelakangan masyarakat.

Untuk mengangkat masyarakat dari derajat yang paling rendah tersebut, maka model pengembangan masyarakat harus diubah yakni model yang dapat memberi peluang besar bagi masyarakat untuk berkreasi dalam rangka mengaktualisasikan diri dalam membangun dirinya sendiri.[1]

Secara filosofis, model pengembangan masyarakat semestinya diarahkan pada memandang manusia/masyarakat sebagai focus dan sumber utama pengembangan yaitu menjadikan musyawarah sebagai metode kerjanya, penyadaran dan pembebasan sebagai proses, kesejahteraan hidup sebagai tujuan akhir.

Landasan Teoritis dalam Pengembangan Masyarakat

Landasan/dasar pengembangan masyarakat yang ditinjau secara teoritis para pakar pengembangan masyarakat. Oleh karena itu, secara garis besar teori perubahan sosial dalam pengembangan masyarakat diklarifikasi menjadi 3 (tiga) kelompok, antara lain; Teori-teori yang memandang perubahan sosial dan pengembangan masyarakat sebagai suatu proses diferensiasi dan integrasi,Teori-teori perubahan sosial yang memandang perubahan dan pengembangan masyarakat sebagai suatu proses perubahan dan pembentukan nilai-nilai modern,Teori perubahan sosial yang melihat perubahan dan pengembangan masyarakat terjadi secara radikal

Kebijakan pengentasan kemiskinan di Indonesia dilaksanakan berdasarkan landasan filosofis bangsa Indonesia yang bersumber dari Pancasila dan Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Kesatuan Republik Indonesia Tahun 1945. Pancasila, yang merupakan cita-cita dan semangat bangsa Indonesia mengandung lima sila, yang salah satunya (sila kelima) bertekad untuk mewujudkan“keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia”. Cita-cita tersebut kemudian diterjemahkan lagi ke dalam Pembukaan UUD 1945, yang antara lain mencantumkan bahwa “…. Pemerintah Negara Indonesia merdeka melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa…..”.

Dengan demikian maka landasan filosofis bangsa Indonesia mencita-citakan bangsa dan negara Indonesia yang berkeadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia dan menciptakan kesejahteraan umum. Dengan perkataan lain, negara bertanggung-jawab atas terciptanya keadilan sosial dan kesejahteraan bagi seluruh rakyat Indonesia.

Landasan sosiologis merupakan gambaran bahwa peraturan yang dibentuk adalah untuk memenuhi kebutuhan masyarakat dalam berbagai aspek kehidupan. Landasan sosiologis merupakan gambaran fakta empiris mengenai perkembangan masalah, kebutuhan masyarakat serta negara.

Pemerintah sampai saat ini membagi penanggulangan kemiskinan menjadi 3 (tiga) kluster:

Kluster pertama meliputi program bantuan dan perlindungan sosial. Program layanan dasar bagi kluster ini yakni penyaluran beras subsidi (raskin), jaminan kesehatan (jamkesmas), pemberdayaan sosial keluarga, fakir miskin, komunitas adat terpencil, penyandang masalah kesejahteraan sosial lainnya, bantuan sosial untuk masyarakat rentan, korban bencana alam dan sosial; bantuan tunai bagi rumah tangga sangat miskin.

Kluster kedua, adalah Pemberdayaan Masyarakat melalui Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat (PNPM). Kluster ini ditujukan pada golongan masyarakat yang sudah lepas dari kluster pertama. PNPM meliputi Inpres Desa Tertinggal (IDT), Program Kompensasi Pengurangan Subsidi Bahan Bakar Minyak (PKPS-BBM), Program Pengembangan Kecamatan (PPK), Program Penanggulangan Kemiskinan di Perkotaan (P2KP), Pengembangan Infrastruktur Sosial Ekonomi Wilayah (PISEW) dan lain-lain. Pada kluster ini, bantuan diberikan seperti pemberian “kail” bukan ikan, bagi kelompok masyarakat miskin dan hampir miskin agar masyarakat bisa mandiri.

Masyarakat miskin yang sudah keluar atau tidak masuk dari kluster pertama dan kedua, dikategorikan kluster ketiga. Mereka memiliki mata pencaharian atau usaha yang cukup untuk membiayai kebutuhan dasar tetapi perlu ditingkatkan. Program-program pada kluster ini adalah program-program bantuan bagi pemberdayaan dan pengembangan usaha mikro dan kecil berupa modal atau peningkatan kapasitas dan Kredit Usaha Rakyat (KUR).

Landasan yuridis dapat dilihat pada pasal-pasal dalam konstitusi mengamanatkan bahwa setiap warga negara berhak atas kesejahteraan sosial yang sebaik-baiknya dan pemerintah wajib melindungi kehidupan dan penghidupan bangsa Indonesia dan berusaha untuk mewujudkan kesejahteraan sosial bagi setiap warga Negara Indonesia. Undang-Undang Dasar 1945, khususnya dapat dilihat pada pasal 27 ayat (2), pasal 28 huruf H ayat (3), serta pasal 34 ayat (1) dan (2), diatur mengenai hak-hak warga Negara dalam memperoleh kesejahteraan sosial. Berbagai peraturan perundang-undangan yang melandasi kegiatan di bidang kesejahteraan sosial diantaranya: 1) Undang-Undang No 11 tahun 2009 tentang Kesejahteraan Sosial, 2) Undang-Undang No. 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana, 3) Undang-Undang No. 40 Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional dan lain sebagainya.

Selain peraturan-perundang-undangan di atas, Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, juga merupakan landasan yuridis yang penting, khususnya yang tertuang dalam Pasal 5 ayat (3), Pasal 8, dan Pasal 41 ayat (1), yang mencantumkan:

Pasal 5 ayat (3): “Setiap orang yang termasuk kelompok masyarakat yang rentan berhak memperoleh perlakuan dan perbandingan lebih berkenan dengan kekhususannya..”

Pasal 8: “Perlindungan, pemajuan, penegakan dan pemenuhan hak azasi manusia merupakan tanggung jawab pemerintah disamping juga masyarakat.”

Pasal 41 ayat (1): “Setiap warga Negara berhak atas jaminan sosial yang dibutuhkan untuk hidup layak, serta perkembangan pribadinya secara utuh.”

Di samping itu, terdapat juga komitmen global dan regional dalam rangka pembangunan kesejahteraan sosial, konvensi-konvensi tentang HAM, hak anak, hak wanita, hak penyandang cacat/orang yang memiliki kemampuan yang berbeda, pelayanan sosial bagi korban NAPZA(Narkotika, Aids, Psikotropika, dan Zat Aditif).

Kesimpulan

Pemberdayaan Masyarakat secara umum dikenal sebagai “pengalihan kekuatan” kepada mereka yang tidak berdaya agar mampu untuk secara mandiri membuat keputusan atau tindakan terbaik untuk kehidupan mereka di masa depan. Pemberdayaan Masyarakat dalam pembangunan secara praktis diartikan sebagai upaya untuk memampukan, melibatkan, dan memberikan tanggung-jawab yang jelas kepada masyarakat dalam pengelolaan pembangunan bagi peningkatan kesejahteraan mereka.

Bantuan teknis jelas mereka perlukan, akan tetapi bantuan tersebut harus mampu membangkitkan prakarsa masyarakat untuk membangun kemandirian, dalam mengatasi permasalahan kemiskinannya yang mereka hadapi. Untuk itu diperlukan sentuhan menyeluruh (pandangan dan penanganan holistic) dan terdesentralisasi, karena setiap kawasan mempunyai kakrakteristik yang sangat lokal pemecahannya.

Sumber:

Aziz Muslim. “Pendekatan Partisipatif dalam Pemberdayaan Masyarakat”, Aplikasia. Jumal Aplikasi llmu-ilmu Agama. Vol. VIII, No. 2 Desember 2007: 26

Kenny, S. Developing Communities For The Future Development The Australia. (Australia : Nelson Australia Prelimited, Canbera. 1994.) h.13-115.

Sumardjo. 1999. ”Transformasi Model Penyuluhan Pertanian Menuju Pengembangan Kemandirian Petani: Kasus di Propinsi Jawa Barat”. Disertasi Doktor. Bogor: Program Pascasarjana Institut Pertanian Bogor.

Baruri Ahmad, Prinsip Pengembangan Masyarakat Menururt Al-Qur’an Studi Atas Surat Adh-Duha (Skripsi), Yogyakarta