Perubahan Sosial Dari Sudut Pandang Teoritis

Ditulis oleh: Zilfaroni, M.A | Dosen UIN Syahada Padangsidimpuan

Daftar Isi:

Perubahan sosial secara teoritik meliputi beberapa hal penting, menyangkut dimensi perubahan sosial serta kondisi dan faktor-faktor perubahan sosial. Perubahan terjadi dalam struktur dan fungsi dari bentuk-bentuk masyarakat, dan dengan adanya interaksi sosial juga akan menimbulkan proses perubahan masyarakat. Hal ini akan mempengaruhi tatanan perubahan masyarakat lainnya dalam norma, nilai-nilai, pola-pola perilaku, organisasi sosial, dan lembaga sosial. perubahan sosial seringkali mengacu kepada perubahan dalam struktur sosial dan hubungan sosial.

Konsep Perubahan Sosial

Perubahan sosial menurut Soemardjan (2009) merupakan variasi dari cara hidup yang telah diterima, baik disebabkan kondisi geografis, kebudyaan material, komposisi penduduk, ideologi, difusi ataupun penemuan baru dalam masyarakat. Perubahan sosial juga merupakan segala perubahan pada lembaga masyarakat yang mempengaruhi sistem sosialnya, termasuk didalamnya nilai-nilai, sikap dan pola perilaku diantara kelompok-kelompok masyarakat, perubahan tersebut tidak hanya bersifat material tetapi imaterial. Ogburn (Soelaiman, 1998) memandang perubahan teknologi misalnya, dapat menyebabkan perubahan lingkungan material, sehingga menimbulkan perubahan atau terjadi modifikasi kebiasaan-kebiasaan dan kelaziman yang umum dalam masyarakat serta pada lembaga sosial.

Dalam kebudayaan, aspek material dan non-material merupakan faktor yang selalu terlibat. Lebih lanjut Ogburn menawarkan suatu konsep analisis kebudayaan dengan konsep “cultural lagj’, Ogbum menjelaskan bahwa kebudayaan dapat dibagi menjadi dua kategori, yaitu kebudayaan material dan kebudayaan non-material. Keduanya mendorong terjadinya perubahan dan saling berpacu dalam proses terjadinya perubahan. Biasanya yang lebih dahulu adalah pada perubahan material, sementara kebudayaan non-material perubahannya mengiringi kemudian. Perubahan kebudayaan material adalah penyebab perubahan non-material, perubahan non-material lebih lambat dalam penyesuaian bentuknya, atau pertumbuhan tidak selalu sama cepatnya dalam keseluruhannya, akan tetapi ada bagian yang tumbuh cepat dan ada bagian lain yang tumbuh lambat, bagian yang berkembang cepat dan bagian lain yang berkembang lambat tersebut saling berhubungan kebergantungan, keadaan yang demikianlah oleh Ogburn dinamakan dengan “cultural la{‘ (dalam Wallis, 1960).

Berbagai macam kebudayaan dan tingkat kecepatan perkembangannya saling berbeda-beda, ada proses yang lebih cepat dan ada yang lambat. Perubahan cepat pada suatu kebudayaan menimbulkan kebutuhan penyesuaian melalui perubahan lain, melalui berbagai macam korelasi hubungan setiap kebudayaan. Kajian sosiologi yang menjelaskan tentang perubahan sosial berbasis teori evolus\ (evolution theory), antara lain:

(a) Pandangan Comte (1795-1557) tentang “tahap-tahap perkembangan manusia dan masyarakat” yang dikenal dengan hukum tiga tahap perkembangan, yaitu: Tahap teologik (fiktif); Tahap metafisik (abstrak); dan Tahap positif (riil) (Wibisono, 2005; Laeyendecker, 1 99 1 ). Pandangan Comte inilah yang menjadi acuan para teoritisi evolusionis berikutnya (lnkees, 1964; Giddens, 1985);

(b) Pandangan Spencer (1820-1903) tentang evolusi masyarakat dari pola sederhana menuju yang limit dan kompleks, dari homogen (homogeneity) ke heterogen (heterogenefry) (Etzioni, 1973; Rossides, 1978);

(c) Marx (1818-1883), tentang evolusi masyarakat menuju masyarakat komunis tanpa kelas dengan pandangan historis materialism; (Rose, 1963; Mutahhari, 1986);

(d) Weber (L564-1920), tentang “the role of ideas in history“. Bagi weber setiap individu terdapat potensi rasional untuk meraih tujuan, yang terdiri dari empat macam yaitu: traditional rationality, value oriental rationality, ffictive rationality, dan purposive rationality atau rationality instrumental. Keempatnya dapat berdiri sendiri, tetapi juga simultan yang secara bersama menjadi acuan perilaku masyarakat, dan tindakan yang paling utama adalah tindakan rationality instrumental (Wrong, 1 970; Iohnson, 1 98 1 ; Laeyendecker, 1 99 1 );

(e) Sorokin ( 1 889- 1968), bahwa: Perubahan sosial bisa disebabkan oleh faktor internal dan eksternal; Pendekatan historis (historical approach) dalam studi perubahan sosial adalah sangat penting; dan Metode logika penuh arti yang terintegrasi dalam budaya (logico meaningful integration of culture) akan menghasilkan tiga sistem sosiokultural (supersistem), yaitu: sistem ideasional; sistem inderawi; dan sistem campuran. Sejarah sosiokultural merupakan siklus yang bervariasi antara ketiga supersistem yang mencerminkan kultur “agali’ homogen (Green, 1972; Campbell, 1994). Dimensi perubahan sosial menurut Himes dan Moore yang dikutip Soelaiman, (1998) ada tiga bentuk dimensi struktural, kultural, dan dimensi interaksional.

Dimensi perubahan strukturallebih mengacu pada perubahan-perubahan bentuk struktur dalam kehidupan masyarakat, perubahan dalam peranan dalam masyarakat, munculnya suatu peranan-peranan baru, serta perubahan dalam struktur kelas sosial dan perubahan dalam lembaga-lembaga sosial, atau perubahan dapat dijelaskan pula secara lebih praktis perubahan struktural meliputi; bertambah atau berkurangnya kadar peranan, menyangkut aspek perilaku dan kekuasaan, adanya peningkatan atau penurunan jumlah peranan atau pengkategorian peranan, terjadinya pergeseran wadah atau kategori peranan, terjadinya modifikasi saluran komunikasi diantara peranan-peranan atau kategori peranan, terjadinya perubahan dari sejumlah daya guna fungsi sebagai akibat dari struktur.

Adapun dimensi kultural (Soelaiman, 1998) dalam perubahan mengacu pada perubahan-perubahan kebudayaan dalam masyarakat, seperti adanya penemuan (discovery), kemajuan berpikir dalam ilmu pengetahuan (science),pembaharuan hasil (invention) teknologi, kontak dengan kebudayaan lain yang menyebabkan terjadinya difusi dan proses peminj aman kebudaya an (cultur alborrowing) . Kesemuanya itu meningkatkan adanya integrasi unsur-unsur baru dalam kebudayaan, bentuk-bentuk lama diganti dengan bentuk-bentuk baru yang secara tidak langsung menimbulkan difusi kebudayaan.

Bentuk umum dan bentuk baru dapat diganti dan dimodifikasi secara terus menerus. Inovasi, difusi, dan integrasi kebudayaan melibatkan proses perubahan sosial dalam dimensi kultural. Inovasi kebudayaan melahirkan penemuan, peniruan, atau peminjaman alat-alat, difusi dikategorikan menjadi dua macam, yaitu penyimpangan kebudayaan dan difusi secara benar, sedangkan integrasi meliputi, penolakan atau penerimaan terhadap bentuk-bentuk baru, duplikasi, cara hidup lama dan baru secara bersama-sama dan terpola, penggantian bentuk-bentuk lama dengan bentuk-bentuk yang baru.

Perubahan sosial menurut dimensi interaksional mengacu kepada perubahan sosial di dalam masyarakat,yang diidentifikasikan dalam lima dimensi, yaitu; pertama, perubahan dalam frekuensi, seperti; frekuensinya, jumlah atau kontinuitas sampai pada hal-hal yang bertentangan. Kedua, perubahan dalam jarak sosial, seperti; hubungan intim, hubungan formal dan informal, dan perubahan dalam arah yang berlawanan. Ketiga, perubahan perantaraan (saluran) seperti; perlakuan partisipan di dalam suatu hubungan mempribadi sebagai tujuan akhir, berubah maknanya menjadi impersonal atau perubahan yang arahnya bertentangan. Keempat, perubahan dari aturan atau pola-pola, seperti; hubungan antara status yang sama dengan arah yang horisontal menjadi pergaulan status yang tidak sama dan arah hubungannya vertikal atau berubah dalam arah berlawanan. Kelima, perubahan dalam bentuk, seperti dari pola hubungan solidaritas, meskipun perangkat struktur lengkap, maka akan terpecah melalui sikap pengalaman yang bermusuhan, ataukonflik, atau berubah dalam arah berlawanan (Soelaiman, 1998). Faktor-faktor yang menyebabkan perubahan sosial dalam masyarakat terdiri dari dalam dua bentuk, yaitu perubahan dari dalam (internat) dan perubahan dari luar (eksternal). Perubahan dari dalam meliputi aspek demografi (bertambah atau berkurangnya jumlah penduduk), penemuan-penemuan baru (inovasi), pertentangan atau konflik dan pemberontakan atau revolusi.

Kecenderungan terjadinya perubahan sosial merupakan suatu gejala alamiah yang muncul dari interaksi manusia dalam masyarakat. Perubahan sosial akan terus berlangsung selama ada interaksi antar manusia dan antar masyarakat. Perubahan sosial terjadi karena adanya perubahan pada unsur-unsur yang menjaga keseimbangan masyarakat, seperti perubahan unsur geografis, biologi, ekonomi, dan budaya. Perubahan sosial dalam masyarakat tidak bisa dilihat dari satu sisi saja, karena perubahan ini dapat mengakibatkan terjadinya pergeseran pada banyak sektor dalam sosial masyarakat. Artinya, perubahan sosial akan selalu terjadi pada setiap lapisan masyarakat itu sendiri.[1]

Faktor demografi yang berhubungan dengan kelahiran dan kematian penduduk, migrasi akan berpengaruh langsung terhadap struktur masyarakat terutama lembaga kemasyarakatannya. Pertumbuhan penduduk yang pesat menuntut adanya pengaturan kelembagaan agar terjadi tertib sosial, perpindahan penduduk akibat migrasi akan menyebabkan perubahan sistem kelembagaan sosial dalam bentuk lembaga kemasyarakatan yang baru. Faktor dari luar (eksternal) yang mendorong terjadinya perubahan masyarakat adalah adanya penetrasi kebudayaan yang masuk dari luar masyarakat yang telah lama tumbuh dan berkembang, sehingga terjadi penyerapan budaya baik melalui interaksi sosial kemasyarakatan, dari pemerintah maupun pengaruh teknologi. Benturan kebudayaan seringkali terjadi jika terdapat dua kebudayaan yang bertemu, dalam prosesnya kemudian muncul peniruan atau imitasi budaya, misalnya dalam mode, life style, dan lain-lainnya.

Faktor lain penyebab terjadinya proses perubahan ialah, terjadinya peperargu, du, invasi atau penaklukan dalam suatu daerah kekuasaan, yang terjadi kemudian adalah sang pemenang akan memaksakan kebudayaannya kepada suatu daerah taklukan, misalnya dalam aturan pemerintahan, lembaga sosial kemasyarakatan, tata nilai dan lain-lain.

Dalam prosesnya perubahan sosial dapat diketahui dengan ciri-ciri tertentu (Soekanto, 1994) yaita; pertama, tidak ada masyarakat yang berhenti perkembangannya, karena setiap masyarakat akan mengalami perubahan baik secara cepat maupun lambat. Kedua, perubahan terjadi pada lembaga kemasyarakatan tertentu, dan diikuti oleh perubahan-perubahan pada lembaga sosial lainnya. Karena sifat kelembagaan tadi yang independen, maka sulit untuk mengisolasi perubahan pada lembaga-lembaga sosial tertentu, karena keseluruhannya merupakan mata rantai. Ketiga, perubahan yang cepat biasanya diikuti dengan disorganisasi yang bersifat sementara, karena berada dalam proses penyesuaian diri. Disorganisasi ini akan diikuti oleh re, organisasi yang mencakup pemantapan kaidah-kaidah dan nilai-nilai baru. Keempat, perubahan tidak dapat dibatasi hanya pada bidang kebendaan atau spiritual saja, karena kedua bidang itu mempunyai kaitan timbal balik.

Perubahan sosial dan kebudayaan dapat dibedakan menjadi beberapa bentuk berdasarkan dimensi waktu, dampak dan prosesnya, yaitlr: Pertama;Daridimensi waktu dapat dibedakan antara perubahan lambat dan perubahan cepat. Tidak ada ukuran waktu yang baku tentang lambat dan cepatnya perubahan yang terjadi. Sifatnya relatif, artinya perubahan yang satu lebih lambat atau lebih cepat dibandingkan perubahan lainnya. Sebagai contoh, perubahan sosial dan kebudayaanpada masyarakat pedesaan cenderung lebih lambat dibandingkan masyarakat perkotaan. Lazimnya, perubahan yang lambat disebut evolusi, dan perubahan cepat terkait dengan konsep revolusi. Kedua; Dari dimensi dampakyang ditimbulkan, dibedakan antara perubahan kecil dan perubahan besar.

Dikatakan perubahan kecil bilamana tidak menimbulkan dampak perubahan yang mendasar pada berbagai aspek sosial kehidupan masyarakat, misalnya perubahan dalam mode pakaian, sistem kekerabatan (kinship), masuknya budaya minoritas dalam masyarakat. “sebaliknya, perkembangan komunikasi serta industrialisasi cenderung berdampak besar dan signifikan pada pola kehidupan masyarakat, karena berpengaruh terbadap perubahan kelembagaanlpranata sosial, interaksi sosial, hubungan kerja dan Iain-lain. Ketiga; Dari dimensi proses, dapat dibedakan antara perubahan yang dikehendaki (intended change) atau yang direncanakan (planned change) dan perubahan yang tidak dikehendaki (unintended change) atau perubahan yang tidak direncanakan (unplanned change). Perubahan yang dikehendaki atau direncanakan ini memang sengaja direncanakan oleh pihak-pihak yang ingin melakukan perubahan (agent of change) untuk mencapai tujuan tertentu’ Sebaliknya perubahan yang tidak dikehendaki atau tidak direncanakan berlangsung di luar jangkauan pikiran masyarakat dan agent of change. Ada kemungkinan kedua bentuk perubahan yang berlawanan ini berlangsung bersama-sama sehingga perubahan yang tidak dikehendaki ini dapat berpengaruh negatif terhadap perubahan yang dikehendaki.

Dilihat dari proses dampaknya, seringkali muncul hasil suatu perubahan yang tidak diinginkan oleh masyarakat dan fenomena seperti ini sulit dihindari. Sebagai contoh pengembangan industrialisasi dapat menimbulkan dampak sampingan berupa pencemaran lingkungan serta perubahan dalam dinamika kehidupan masyarakat. Inovasi program yang dimaksudkan untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi masyarakat ternyata dapat menimbulkan akibat yang tidak diinginkan seperti timbulnya kesenjangan sosial ekonomi antar golongan masyarakat, kecemburuan sosial dan lain sebagainya.

Teori Fungsional Struktural

Pola kehidupan masyarakat, karena berpengaruh terbadap perubahan kelembagaanlpranata sosial, interaksi sosial, hubungan kerja dan Iain-lain. Ketiga; Dari dimensi proses, dapat dibedakan antara perubahan yang dikehendaki (intended change) atau yang direncanakan (planned change) dan perubahan yang tidak dikehendaki (unintended change) atau perubahan yang tidak direncanakan (unplanned change). Perubahan yang dikehendaki atau direncanakan ini memang sengaja direncanakan oleh pihak-pihak yang ingin melakukan perubahan (agent of change) untuk mencapai tujuan tertentu.

Sebaliknya perubahan yang tidak dikehendaki atau tidak direncanakan berlangsung di luar jangkauan pikiran masyarakat dan agent of change. Ada kemungkinan kedua bentuk perubahan yang berlawanan ini berlangsung bersama-sama sehingga perubahan yang tidak dikehendaki ini dapat berpengaruh negatif terhadap perubahan yang dikehendaki. Dilihat dari proses dampaknya, seringkali muncul hasil suatu perubahan yang tidak diinginkan oleh masyarakat dan fenomena seperti ini sulit dihindari. Sebagai contoh pengembangan industrialisasi dapat menimbulkan dampak sampingan berupa pencemaran lingkungan serta perubahan dalam dinamika kehidupan masyarakat. Inovasi program yang dimaksudkan untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi masyarakat ternyata dapat menimbulkan akibat yang tidak diinginkan seperti timbulnya kesenjangan sosial ekonomi antar golongan masyarakat, kecemburuan sosial dan lain sebagainya.

Membawa perubahan pula pada bagian yang lain. Asumsi dasarnya bahwa setiap struktur dalam sistem sosial, fungsional terhadap yang lain. Sebaliknya, kalau tidak fungsional struktur itu tidak akan ada atau akan hilang dengan sendirinya (Ritzer l992). Auguste Comte yang mencurahkan perhatiannya pada ketertib_ an dan keharmonisan masyarakat mengatakan bahwa sosiologi studi tentang statika (struktur) atau strata sosial dan dinamika sosial (proses/fungsi). Dalam membahas struktur masyarakat, Comte menerima premis bahwa masyarakat laksana organisme hidup (paloma, 1984:23).

Teori Struktural Fungsional mencoba memandang realitas sosial sebagai Hubungan sistem, yakni: sistem masyarakat, yang berada Dalam keseimbangan, yakni kesatuan yang terdiri dari bagian-Bagian yang saling tergantung, sehingga perubahan satu bagian Dipandang menyebabkan perubahan lain dari sistem.[2]

Perspektif organik Comte, memperlakukan atau mengembangkan hukum-hukum sosial sebagaimana halnya suatu organisme hidup. Studi tentang statika sosial (struktur) dari sosiologi adalah penyelidikan hukum-hukum tindakan dan reaksi yang berbeda dari bagian sistem Sosial. Dinamika sosial adalah mempelajari gerakan (perubahan) masyarakat. Pernyataan comte tentang statika sosial (struktur) memberikan inspirasi pada terhadap teori struktural-fungsional. Hal ini dipertegas oleh veeger (1985), bahwa statika sosial melandasi dan menunjang orde, tertib, dan kestabilan masyarakat.

Antara lain sistem perundangan, struktur-organisasi, nilai-nilai keyakinan, kaidah dan kewajiban yang kesemuanya memberi bentuk yang kongkrit kepada kehidupan bersama. spencer melhat bahwa masyarakat sama dengan organisme hidup, mereka sama-sama tumbuh dalam proses evaluasi dengan ciri-ciri khas mereka (Veeger, 1985). Analisis Spencer tentang perbedaan dan kesamaan antara organisme biologis dan sistem sosial, dengan hati-hati spencer menegaskan bahwa hanya merupakan sebuah analogi atau model yang tidak seharusnya diterima begitu saja. Hal ini, masyarakat tidak benar-benar mirip dengan organisme hidup, perbedaan di antara keduanya terdapat sebuah perbedaan yang sangat penting.

Dalam organisme, mempunyai saling ketergantungan antara bagian-bagian atau saling terkait dalam suatu hubungan yang intim. sedangkan dalam sistem sosial hubungan yang sangat dekat seperti bagian-bagian organisme tidak begitu jelas terlihat; bagian-bagian yang kadang-kadang sangat terpisah. Makna saling ketergantungan dalam sistem sosial mempunyai arti relatif; banyak variabel-variabel sosial lainnya yang terlibat di dalamnya. Tiap bagian yang tumbuh di dalam tubuh organisme biologis maupun dalam sistem sosial memiliki fungsi dan tujuan tertentu.

Dalam sistem oragnisme maupun sistem sosial, bila terjadi perubahan pada bagian lain dan pada akhirnya akan terjadi perubahan dalam sistem secara keseluruhan. Pemikiran Comte dan Spencer tersebut mempertegas asumsi dasar sosiologi, bahwa masyarakat dapat dilihat sebagai suatu sistem yang terdiri dari bagian-bagian yang saling tergantung satu sama lain (Paloma,1984). Lahirnya aliran struktural-fungsional dalam sosiologi memperoleh dorongan yang kuat melalui karya-karya Durkheim. Durkheim memandang masyarakat modern adalah merupakan keseluruhan organis yang memiliki realitas tersendiri. Keseluruhan tersebut memiliki seperangkat kebutuhan atau fungsi-fungsi tertentu yang harus dipenuhi oleh bagian-bagian yang menjadi anggota agar dalam keadaan normal, tetap langgeng. Keadaan normal menunjuk pada keseimbangan (equilibrium) atau sebagai suatu sistem yang seimbang.

Bila kebutuhan tertentu tidak dipenuhi maka akan berkembang suatu keadaan yang bersifat’patologis” (ketidakseimbangan atau perubahan sosial) (Paloma, 1984). Sumbangan pemikiran Durkheim terhadap aliran strukural-fungsional cukup besar, dengan menekankan kepada konsep; kesatuan moral dan keseimbangan sistem sosial serta fungsi dari fakta sosial. Sumber utama analisis Durkheim adalah mengenai tipe-tipe yang berbeda dalam solidaritas dan sumber-sumber struktur sosial. Durkheim menggunakan istilah solidaritas mekanik dan organik untuk menganalisa masyarakat keseluruhannya. Solidaritas mekanik didasarkan pada suatu keadaan kolektif bers.una, kepercayaan, sentimen-sentimen bersama, ruang lingkup dan kerasnya hukum-hukum yang bersifat menekan (repressive). Keadaan tersebut terjadi pada masyarakat yang homogen yang merupakan ciri khas solidaritas mekanik.

Sedangkan solidaritas organis adalah merupakan hasil evolusi dari solidaritas mekanis. Di dalam solidaritas organis, setiap anggota masyarakat merasakan adanya saling ketergantungan kompleks, saling ketergantungan fungsional, menganut nilai dan norma umum bersama serta ruang lingkup hukum yang bersifat memulihkan (restitutive) (lohnson, 1 986). Sumbangan pemikiran aliran struktural fungsional Durkheim tetap dipertahankan dan dikembangkan oleh dua orang antropolog, yaitu Bronislaw Malinoswki dan Radciffe-Brown. Malinoswki menggunakan pengertian fungsi untuk pendekatan konsensus. Masyarakat dapat dikatakan sebagai sistem sosial, unsur-unsur yang saling berhubungan timbul dari kebutuhan dasar setiap manusia.

Dasar pemikirannya dari kebutuhan dasar manusia dan respon budaya yang terintegrasi, berkembang dalam kesatuan fungsi. Radcliffe-Brown memberikan konsep mendasar tentang fungsionalisme dalam ilmu-ilmu sosial. Menurut Radcliffe-Brown, fungsi dari setiap kegiatan yang selalu berulang, seperti menghukum kejahatan atau dalam proses upacara penguburan, merupakan bagian yang dilakukan dalam kehidupan sosial.

Hal ini merupakan sumbangan atau fungsi bagi pemeliharaan kelangsungan struktural. lerspektif stiuktural-fungsional dalam membahas struktur, Parsons menggunakan konsep sistem (sistem sosial). Sistem ialah organisasi dari keseluruhan bagian-bagian yang saling tergantung. Sistem sosial ialah struktur atau bagian yang saling berhubungan, atau posisi-posisi yang saling dihubungkan oleh peranan timbal-balikyang diharapkan (Paloma, 1984). Karya parsons, awalnya dimaksudkan untuk mengembangkan suatu model tindakan sosial yang bersifat voluntaristik yang didasarkan pada sintesanya dari teori Alfred Marshall, Vilfredo Pareto, Emile Durkheim, dan Max We, ber (Johnson, 1986:106). Konsepsi sistem yang dipergunakan untuk menganalisa masyarakat sebagai sistem sosial, yang di dalamnya terdapat tindakan-tindakan untuk mencapai tujuan tertentu, baik secara individu maupun secara kolektif dalam suatu kelompok, lembaga dan masyarakat. Perspektif fungsional Parsons mengenai sistem sosial didasarkan pada teori tindakan sosial dalam sistem sosial sebagai unit analisis. Konsep masyarakat sebagai sistem sosial digunakan Thlcot parsons dan pengikut-pengikutnya melalui pendekatan struktural-fungsional, memberikan pengertian tentang sistem sosial, ialah proses interaksi diantara pelaku sosial (aktor), sedangkan yang merupakan struktur sistem sosial adalah struktur relasi antara pelaku sebagaimana yang terlibat dalam proses interaksi. sistem sosial dapat diartikan sebagai suatu perangkat peran sosial yang berinteraksi atau kelompok sosial yang memiliki nilai, memiliki norma, dan memiliki tujuan yang sama (Garna, 1996).

Keluarga yang merupakan lembaga paling kecil dalam masyarakat mempunyai prinsip-prinsip serupa sebagaimana menurut pandangan aliran struktural-fungsional. Parsons yang mengembangkan pendekatan struktural-fungsional dalam kehidupan keluarga, mengakui adanya keragaman dalam kehidupan sosial. Parsons menjelaskan pula bahwa satuan utama dari sistem sosial terdiri atas kolektivitas dan peranan (Garna, 1996). Martin Roderick (1993) menguraikan, pendekatan sistem beranjak dari asumsi bahwa suatu masyarakat sedikit banyak saling memiliki ketergantungan dengan dengan lembaga-lembaga sosial berusaha untuk memenuhi fungsi-fungsi yang penting sama menjamin kelangsungan hidup.

Selain itu, pendekatan sistem yaitu menganalisa kehidupan masyarakat dari sudut struktut fungsi, Peranan, dan prosesnya. Sedangkan pendekatan tindakan sosial secara langsung atau tidak melihat lembaga-lembaga sosial sebagai sarana bagi individu untuk tujuan individu maupun tujuan kelompok. Pendekatan tindakan sosial menganalisa masyarakat dari segi pelakunya. Menurut Nasikun (1984), bahwa sistem sosial pada dasarnya tidak lain adalah suatu sistem daripada tindakan-tindakan yang terbentuk dari interaksi sosial yang terjadi diantara berbagai individu yang tumbuh dan berkembang di atas standar penilaian umum yang disepakati bersama oleh para anggota-anggota dalam masyarakat.

Berbagai standar penilaian umum tersebut adalah norma-norma sosial dan adanya hubungan sosial yang dinamis antara bagian-bagian itu yang sesungguhnya akan membentuk struktur sosial. Max weber (dalam |onhson, 1986:), menekankan pada pemahaman subyektif (verstehen) sebagai metoda untuk memperoleh pemahaman yang valid mengenai arti-arti subyektif tindakan sosial. Weber menjelaskan, bahwa tidak hanya mengamati obyek, tetapi juga mengerti menafsirkan tindakan sosial dan melalui tindakan tersebut dapat menjelaskan terjadinya dan dampaknya atau akibat.

Prinsip pemahaman subyektif dari Weber ialah menunjuk pada upaya memahami suatu perilaku dengan menjelaskan fenomena tersebut untuk menangkap hubungan di antara perasaan, motivasi, dan pikiran dengan tindakannya. Perspektif Parsons yang bersifat fungsional itu mengatakan bahwa tindakan individu harus memenuhi persyaratan-persyaratan fungsional. Pada bagian ini, Parsons menekankan pentingnya pemahaman orientasi individu yang bersifat subyektif, termasuk definisi situasi serta kebutuhan dan tujuan individu. Setiap pola perilaku yang sesuai atau menyimpang, setiap kebiasaan atau norma, setiap keputusan kebijaksanaan yang besar dan setiap nilai budaya dapat dianalisa dengan kerangka fungsional (|ohnson, 1986). Weber menggunakan rasionalitas sebagai konsep dasar dalam mengkalisifikasi mengenai tipe-tipe tindakan sosial, dibedakan antara tindakan rasional dan non rasional. Tindakan rasional menurut Weber meliputi pertimbangan yang sadar dan pilihan yang berhubungan dengan tujuan tindakan itu dan alat yang digunakan untuk mencapainya. Tindakan diarahkan secara rasional ke suatu sistem dari tujuan-tujuan individu yang memiliki sifat-sifatnya sendiri, apabila tujuan, serta akibat sekundernya diperhitungkan dan dipertimbangkan secara rasional.

Hal ini mencakup pertimbangan rasional atas alat alternatif untuk mencapai tujuan itu, pertimbangan mengenai hubungan-hubungan tujuan itu dengan hasil-hasil yang mungkin dari penggunaan alat tertentu apa saja, dan akhirnya pertimbangan mengenai pentingnya tujuan-tujuan yang mungkin berbeda secara relatif (|ohnson, 1986). Individu atau masyarakat memiliki bermacam-macam tujuan, akan tetapi sangat tergantung pada kondisi atau situasi lingkungan untuk menentukan pilihan dengan pertimbangan yang sadar untuk mencapai tujuan yang diinginkan.

Untuk mencapai tujuan individu selalu menilai alat yang mungkin dapat digunakan, dilakukannya melalui pengumpulan informasi, atau melalui suatu percobaan. Parsons mengatakan bahwa tindakan manusia dipengaruhi oleh dua macam orientasi, yaitu orientasi motivasional dan orientasi nilai-nilai. Kedua macam orientasi itu sama-sama menunjuk pada pencapaian kebutuhan-kebutuhan atau tujuan-tujuan. akan tetapi keduanya mempunyai perbedaan di mana orientasi motivasional lebih bersifat individual dan orientasi nilai lebih bersifat sosial. orientasi motivasional menunjuk pada keinginan individu yang bertindak demi memperbesar kepuasan dan mengurangi kekecewaan. Orientasi nilai menunjuk pada standar-standar normatif yang mengendalikan pilihan individu (alat dan tujuan) dan prioritas sehubungan dengan adanya kebutuhan dan tujuan-tujuan yang berbeda.

Hal ini mengandung pengertian bahwa tindakan seseorang dipengaruhi oleh kehendak pribadinya dan sekaligus dikontrol nilai-nilai yang berlaku dalam masyarakat (Johnson, 1936). Ada tiga tahap refleksi teoritik Parsons, yaitu: (a) tahap pertama; ketika dia merymsui teori Tindakan Voluntaristik tahun 1949; (b) tahap kedua; ketika dia meninggalkan teori tindakan ke Teori Sistem tahun 1951; dan (c) tahap ketiga;tahap terakhir ketika dia menerangkan teori fungsional struktural pada evolusi masyarakat tahun 1966 (Bierstedt, 1974,Priyono,2002). Hal yang penting dalam memahami teori fungsional struktural Parsons, liaitu: (a) skema A AGIL; (b) Konsep sistem; serta (c) adalah konsep fungsional struktural.

Pertama; Skema AGIL. Menurut Parsons empat hal yang berfungsi dan sangat penting yang diperlukan dalam menganalisis semua sistem “tindakan” manusia untuk pemeliharaan pola di masyarakat, yaitu Adaptation (A), Goal attainment (G), Integration (1), dan Latensi (L) (Bachtiar, 2006). Keempat fungsi yang saling berhubungan Adaptation (adaptasi). Sebuah sistem harus menanggulangi situasi eksternal yang gawat. Sistem harus menyesuaikan diri dengan lingkungan sesuai dengan kebutuhannya.

Kemudian Organisme perilaku, merupakan suatu sistem tindakan yang melaksanakan fungsi adaptasi (menyesuaikan dan mengubah lingkungan eksternal). Sedangkan bidang atau sistem ekonomi merupakan subsistem yang melaksanakan fungsi masyarakat dalam menyesuaikan diri terhadap lingkungan melalui: tenaga kerja, produksi, dan alokasi; Goal attainment (Pencapaian tujuan). Merupakan sebuah sistem harus mendefinisikan dan mencapai tujuan. Kemudian Sistem kepribadian adalah melaksanakan fungsi pencapaian tujuan dengan menetapkan tujuan sistem dan memobilisasi sumber daya yang ada untuk mencapainya. Sedangkan sistem pemerintahan (sistem politik) melaksanakan fungsi pencapaian tujuan dengan mengejar tujuan kemasyarakatan dan memobilisasi aktor sumber daya manusia untuk mencapai tujuan. Integration (Integrasi), merupakan sebuah sistem harus mengatur hubungan antar bagian dalam sistem, sistem juga harus mengelola hubungan ketiga fungsi lainnya (A,G,L).

Kemudian sistem sosial adalah menanggulangi fungsi integrasi dengan jalan mengendalikan bagian-bagian dalam sistem. Sedangkan komunitas (sistem hukum, aturan) akan menjalankan suatu fungsi integrasi, mengkoordinasi beragam komponen masyarakat; Latency (pemeliharaan pola). sebuah sistem harus memperlengkapi, memelihara dan memperbaiki, baik motivasi individu atau pola kultural untuk bertindak. Kemudian sistem kultural melaksanakan fungsi pemeliharaan pola dengan menyediakan aktor seperangkat norma dan nilai yang mendorong individu bertindak. Sedangkan sistem fiduciari (contoh lembaga keluarga, sekolah, agama) menangani fungsi pemeliharaan pola dengan menyebarkan nilai, norma pada aktor (individu) untuk diinternalisasikan pada dirinya. Keempat ,.rrur dalam skema AGIL tersebut saling kait-mengkait (|ohnson, 1981; Ritzer dan Goodman,2004)

Kedua; konsep sistem, untuk memahami skema tersebut, beberapa pemikiran kunci dari Parsons tentang fungsional struktural dapat dipahami dalam konsep-konsep sebagai berikut (a) sistem kultural, merupakan kekuatan utama yang mengikat berbagai sistem tindakan. Kultur mengatur interaksi antar aktor, menginteraksikan kepribadian dan menyatukan sistem sosial. Kultur, dipandang sebagai sistem simbol yang terpola, teratur yang menjadi sasaran orientasi para aktor, aspek-aspek kepribadian yang sudah terinternalisasi dan pola-pola yang sudah terlembagakan di dalam sistem sosial. |adi, kultur akan menjadi faktor eksternal untuk menekan pola tindakan aktor. (Ritzer, 200a); (b) sistem sosial, yaitu terdiri dari sejumlah aktor individual yang saling berinteraksi dalam situasi yang mempunyai aspek lingkungan (fisik), aktor mempunyai suatu motivasi untuk “mengoptimalkan kepuasan] yang berhubungan dengan situasi mereka didefinisikan dan dimediasi dalam sistem simbol yang terstruktur secara kultural.

Konsep kunci sistem sosial menurut Parsons adalah: aktor; interaksi; Iingkungau optimalisasi; kepuasan dan kultur. parsons menggunakan status peran sebagai unit dasar dari sistem sosial. Status adalah menyangkut posisi struktural individu dalam sistem sosial, sedangkan peran adalah apa yang harus dilakukan individu dalam posisinya. Aktor dalam pandangan Parsons, bukan dilihat dari sudut pikiran, ide, keyakinan dan tindakan sehari-hari (seperti dalam teori berparadigma definisi sosial), tetapi dilihat sebagai kumpulan beberapa status dan peran yang terpola oleh struktur dalam sistem. |adi, individu terdeterminasi oleh faktor ekstemal. Inti pemikiran Parsons tergambar dalam empat sistem tindakan, yaitu: sistem kultural; sistem sosial; sistem kepribadiau dan organisme perilaku, yang keempatnya terkait dengan AGIL (Abraham,lgBZ).

Ketiga, Dalam Konsep fungsional struktural, Parsons mengemukakan beberapa asumsi sebgai berikut (a) sistem memiliki properti keteraturan dan bagian-bagian yang saling tergantung; (b) sistem cenderung bergerak ke arah mempertahankan keteraturan diri atau keseimbangan; (c) sistem bergerak dalam proses perubahan yang teratur; (d) sifat dasar bagian suatu sistem be pengaruh terhadap bentukbagian-bagian lain; (e) sistem memelihara batas-batas dengan lingkungannya; (f) alokasi dan integrasi merupakan dua proses fundamental yang diperlukan untuk memelihara keseimbangan sistem; (g) sistem cenderung menuju ke arah pemeliharaan keseimbangan diri meliputi pemeliharaan batas serta pemeliharaan hubungan antara bagian-bagian dengan keseluruhan sistem, mengendalikan lingkungan yang berbeda-beda dan mengendalikan kecenderungan untuk merubah sistem dari dalam (Ritzer dan Goodman,2004). Menurut pandangan Parsons, bahwa: (a) antara aktor dan struktur sosial mempunyai hubungan erat; (b) persyaratan kunci bagi terpeliharanya integrasi pola nilai di dalam sistem adalah proses internalisasi dan sosialisasi; (c) dalam proses sosialisasi, nilai dan norma diintenalisasikan (norma dan nilai menjadi bagian dari “kesadarari’ aktor), sehingga aktor mengabdi pada kepentingan sisters sebagai suatu kesatuan; (d) Aktor biasanya menjadi penerima pasif dalam proses sosialisasi; (e) dalam fungsional struktural Parsons, adalah bagaimana cara sistem mengontrol aktor, bukan mempelajari bagaimana cara aktor menciptakan dan memelihara sistem (Ritzer dan Goodmm,2004). Substansi pokok teori fungsional struktural Parsons tentang perubahan sosial adalah: (a) proses perubahan yang terjadi akan mengarah pada keseimbangan (equilibrium) dalam sistem sosial, apabila ada konflik internal, perlu dicari upaya-upaya untuk tetap terjaga keseimbangan dalam sistem; (b) proses diferensiasi struktural akan menimbulkan perubahan baru di dalam subsistem, tetapi tidak mengubah struktur sistem sosial secara keseluruhan. Nilai-nilai pokok dianggap tetap tidak berubah; (c) perubahan evolusi masyarakat adalah mengarah kepada “peningkatan kemampuan adaptasi’] menuju keseimbangan hidup; dan (d) apabila terjadi perubahan dalam struktural, maka akan teradi perubahan dalam kultur normatif sistem sosial bersangkutan (perubahan sistem nilai-nilai terpenting).

Hal ini akan mempengaruhi perubahan unit-unit lain dalam sistem (Lauer, 1978; Harper, 1989; fohnson and Hunt, 1984). Berdasarkan pra survai tentang realitas sosial kehidupan masyarakat petani pada lokasi penelitian yakni di desa Tamaila, desa Lakeya, desa Bina |aya dan desa Molohu Kecamatan Tolangohula, nampak ada kesesuaian apabila peneliti menganalisis fenomena alih fungsi lahan pertanian menjadi lahan perkebunan tebu pabrik gula dengan menggunakan teori fungsional struktural Parsons sebagai orientasi teoritik. Letak kesesuaiannya menurut peneliti antara lain. Pada dasarnya tindakan petani menerima ganti rugi lahan pertanian menjadi lahan perkebunan tebu dapat dianalisis dari skema fungsional AGIL, yaitu Adaptation (A), Goal attainment (G), Integration (I), dan Latensi (L). AGIL berfungsi untuk pemeliharaan pola di masyarakat.

Alih fungsi lahan pertanian menjadi lahan perkebunan tebu tidak bisa terlepas dari sistem kultural yang berkembang saat itu, baik di keluarga atau masyarakat. Kultur dalam keluarga atau masyarakat akan mengatur (mendeterminasi) proses alih fungsi lahan pertanian untuk lahan perkebunan tebu. Tindakan masyarakat petani sangat berkaitan dengan unsur-unsur struktur sosial pada masyarakat desa, yaitu: lembaga sosial; kekuasaan; interaksi sosial; nilai dan norma-norma sosial.

Keterkaitan hubungan tersebut sangat erat atau merupakan suatu kesatuan sistem, hal ini sesuai dengan pandangan teori fungsional struktural. Bentuk perubahan sosial yang terjadi pada level kehidupan masyarakat petani sebagai akibat dari alih fungsi lahan pertanian menjadi lahan perkebunan tebu adalah berlangsung secara evolusi dan perubahan evolusi keluarga petani tersebut mengarah kepada “peningkatan kemampuan adaptasi” Kemampuan adaptasi yang dimaksudkan adalah petani ketika tidak memiliki lahan pertanian sebagai sumber kehidupan dan sumber pendapatannya, mereka berupaya bekerja di luar sektor pertanian guna menuju pada keseimbangan dalam dinamika kehidupan masyarakat dan hal ini sesuai dengan pandangan teori fungsional struktural.

Teori Konflik

Teori konflik adalah satu perspektif di dalam sosiologi yang memandang masyarakat sebagai satu.sistem sosial yang terdiri dari bagian-bagian atau komponen-komponen yang mempunyai kepentingan yang berbeda-beda dimana komponen yang satu berusaha untuk menaklukkan komponen yang lain guna memenuhi kepentingannya atau memperoleh kepentingan sebesar-besarnya. (Raho, 2007). pada dasarnya pandangan teori konflik tentang masyarakat sebetulnya tidak banyak berbeda dari pandangan teori struktural fungsional, karena keduanya sama-sama melihat bahwa masyarakat sebagai suatu sistem yang terdiri dari bagian-bagian.

Perbedaan antara keduanya terletak dalam asumsi mereka yang berbeda tentang elemen-elemen pembentuk masyarakat itu. Banyak definisi konflik yang dkemukakan para pakar. Dari berbagai definisi dan berbagai sumber yang ada istilah konflik dapat dirangkum sebagai berikut: (1) konflik adalah bentuk pertentangan alamiah yang dihasilkan oleh individu atau kelompok karena mereka yang terlibat memiliki perbedaan sikap, kepercayaan, nilai, serta kebutuhan; (2) hubungan pertentangan antara dua pihak atau lebih (individu maupun kelompok) yang memiliki atau merasa memiliki sasaran-sasaran tertentu, namun diliputi pemikiran, perasaan, atau perbuatan yang tidak sejalan; (3) pertentangan atau pertikaian karena ada perbedaan dalam kebutuhan, nilai, dan motifasi pelaku atau yang terlibat di dalamnya; (4) suatu proses yang terjadi ketika satu pihak secara negatif mempengaruhi pihak lain, dengan melakukan kekerasan fisik yang membuat orang lain perasaan serta fisiknya terganggu; (5) bentuk pertentangan yang bersifat fungsional karena pertentangan semacam itu mendukung tujuan kelompok dan memperbarui tampilan, namun disfungsional karena menghilangkan tampilan kelompok yang sudah ada; (0) proses mendapatkan monopoli ganjaran, kekuasaan, pemilikan, dengan menyingkirkan atau melemahkan pesaing; (7) suatu bentuk perlawanan yang melibatkan dua pihak secara antagonis; (8) kekacauan rangsangan kontradiktif dalam diri individu kepada kepentingan dan penggunaan kekerasan.

Teori konflik ini berdasarkan dari adanya sarana-sarana sebagai pokok permasalahan untuk pemisahan golongan dalam masyarakat.[3] Dalam masyarakat pasri dijumpai konsensus dan konflik, yaitu pada prinsipnya dapat memiliki hubungan timbal balik. Tidak akan ada konflik tanpa di dahului dengan konsensus oleh konsensus sebelumnya, sebaliknya, konflik bisa menimbulkan konsensus dan integrasi sosial. perumusan teori konflik sangat dipengrahui oleh fungsional struktural. Konsep kuncinya adalah perbedaan otoritas dan kepentingan dalam tatanan kehidupan masyarakat. Otoritas yang melekat pada posisi individu atau kelompok adalah unsur utama dalam analisis konflik. Otoritas membedakan antara kelompok-kelompok superordinal (berkuasa) dan subordinasi (yang dikuasai). Bila teori ini dikaitkan dengan alih fungsi lahan pertanian menjadi lahan perkebunan tebu pabrik, terlihat bahwa antara superordinal (berkuasa) dalam hal ini kepala desa memaksa masyarakat menjual tanah milik masyarakat petani (subordinal) kepada perusahaan menjadi lahan perkebunan tebu pabrik gula. Selanjutnya pengaruh teori konflik dalam studi sosiologi berada dalam rentang waktu yang sangat panjang.

Dalam posisi penelitian ini, teori Neo Marxian yang dipilih sebagai the oritical orientatior adalah teori konflik Coser yang oleh sebagian ahli dianggap sebagai ‘teori konflik modern yang bersifat “hturalistik dan Evolusioner“. Hal ini bukan berarti hanya teori Neo Marxian Coser saja yang cocok untuk dijadikan orientasi teori dalam suatu kajian fenomena sosial. Berikut beberapa substansi pokok pikiran atau asumsi teori konflik Coser, antara lain; Pertama; Konflik akan cenderung meningkatkan dari pada menurunkan penyesuaian sosial adaptasi dan memelihara bahas kelompok; Konflik bersifat fungsional dan tidak fungsional. Konflik muncul ketika ada akses dari penuntut untuk memperoleh imbalan sesuai dengan kerjanya; Struktur sosial berbeda-beda bentuknya. Ada yang berbentuk mobilitas sosial, eksistensi institusi katup keselamatan (savety-valve institutions), konflik institusional, dan toleransi, yang pada tingkatan tertentu memiliki hubungan erat, tingkat berpartisipasi kelompok, dan panjangnya konflik. |adi, semakin erat sistem stratifikasi, semakin sedikit pulalah institusi katup keselamatan; Semakin rendah institusionalisasi toleran konflik institusional, semakin lebih dekat merajut kelompok, partisipasi kelompok dan apabila perjuangan dalam kelompok lebih lama, lebih intens akan berpotensi menjadi konflik sosial’ Kedua; Konflik yang realistis dalam sebuah struktur sosial yang terbuka memberikan kontribusi penyesuaian struktur yang lebih hebat, fleksibilitas dan integritas sosial. Sebaliknya konflik yang tidak realistis dalam lingkungan yang fleksibel dan tertutup akan menimbulkan kekerasan dan disintegrasi. Pada dasarnya perspektif fungsional struktural dan perspektif konflik adalah “saling kait mengkait” dalam memahami masyarakat secara holistik tentang proses sosial. Baik teori fungisional maupun teori konflik, adalah sama-sama teori parsial dalam melakukan analisis fenomena sosial.

Kehidupan sosial memang memerlukan keserasian fungsi (teori fungsional), tetapi untuk melakukan proses perubahan dan dinamika hidup, maka kehidupan sosial memerlukan adanya konflik antar unsur sosial atau sub sistem (teori konflik), sehingga konflik dan konsensus (fungsional), perpecahan dan integrasi adalah proses fundamental (sesuatu yang mesti ada) dalam masyarakat, meski porsinya beragam antar kelompok. Atau konflik dan integrasi merupakan bagian integral dalam sistem sosial (Coser and Rosenb erg,1969; Cambel, 1981); Fungsi konflik adaiah: (a) konflik antar kelompok dalam memperkokoh solidaritas ingroup, atau bisa juga menciptakan kohesi melalui aliansi dengan kelompok lain; (b) konflik dapat mengaktifkan peran individu, yang semula terisolasi menjadi tidak terisolasi, semula pasif menjadi aktif; (c) konflik juga membantu fungsi komunikasi (artinya fungsi, peran dan batas-batas musuh dengan konflik semakin jeras). fungsi konflik yang lebih positif, tetapi konflik juga mempunyai disfungsi.

Berdasarkan pra survai, fenomena struktur sosial di lokasi penelitian, menunjukkan bahwa: (a) pengaruh elit sosial di pedesaan, misalnya tokoh masyarakat atau aparat desa ikut berperan dalam proses-proses sosial masyarakat desa; (b) pada proses awal terjadinya alih fungsi lahan pertanian menjadi lahan perkebunan tebu untuk kepentingan perusahaan pabrik gula, pengaruh elit politik desa (aparat pemerintah desa) dan para “makelar” tanah, relatif besar peranannya dalam proses alih fungsi lahan pertanian menjadi lahan perkebunan tebu; (3) meskipun pola komunikasi dan pengambilan suatu keputusan di desa terjadi atau secara musyawarah dan mufakat, namun pola dan nuansa musyawarahnya terasa adanya “penekanan” dari pihak eksternal (misalnya makelar dan aparat desa).

Ketika pemerintah orde baru tumbang dan lahirnya era reformasi, rasa ketidakpuasan warga desa muncul dalam bentuk protes, demo, baik langsung ditujukan kepada pengelola perusahaan serta kepada Kepala Desa terutama desa-desa yang memiliki lahan yang luas untuk kepentingan pertanian dan telah beralih menjadi lahan perkebunan tebu. Menurut Coser adalah, dalam melakukan analisis sosial perlu melakukan “analisis hubungan antara struktur sosial yang berlaku dalam tatanan kehidupan masyarakat dan model konflik serta kekuasaan’. Konflik sosial yang terjadi pada masyarakat petani (situs penelitian) bisa bersifat “fungsional” dan disisi lain “tidak fungsional” (disfungsi) bagi kehidupan masyarakat pedesaan. Konflik muncul ketika warga desa merasa ada akses untuk menuntut memperoleh imbalan pada per.,sahaan pabrik gula sesuai dengan perjanjian yang disepakati pada saat alih fungsi lahan. Fungsi konflik antara petani dengan perusahaan pabrik gula adalah: (1) konflik yang terjadi di desa dapat memperkokoh solidaritas ingroup (para petani desa); (2) konflikyang terjadi di desa ternyata dapat mengaktifkan peran individu, terutama tokoh-tokoh tua dan muda, yang semula tidak nampak berperan kemuncul untukmenggalang persatuan; (3) konflikyang terjadi dapat meningkatkan fungsi komunikasi antar status dan peran warga desa.

Fungsi konflik yang lebih positif (fungsional), tetapi konflik di desa juga dapat mengakibatkan ‘disfungsi’l yaitu pada era reformasi terjadi demo penurunan secara paksa para kepala desa atau elit kekuasaan di desa serta orang-orang yang dahulu “mendukung” alih fungsi lahan pertanian untuk perkebunan tebu, disamping itu tidak menutup kemungkinan alih fungsi lahan menyebabkan konflik dalam keluarga karena berebut warisan, sehingga hubungan keluarga bersifat disintegratif. Berdasarkan uraian di atas bukan berarti pandangan Neo-Marxian Coser adalah “paling cocok” untuk dijadikan sebagai the oritical orientation dalam kajian alih fungsi lahan pertanian menjadi perkebunan tebu, sebab menurut peneliti masih ada teori-teori neo-Marxian lain yang bisa digunakan. fadi, pemilihan teori Neo-Marxian Coser ini semata-mata atas pertimbangkan kemampuan peneliti dalam memahami teori konflik Neo-Marxian, disamping itu juga didasarkan pada pertimbangan untuk membatasi ruang lingkup kajian.

Teori Rasional

Teori tindakan rasional Weber. sangat berbeda dengan teori tindakan sosial Parsons. Perbedaan yang mendasar, antara lain: (a) orientasi filosolis teori Parsons adalah positivisme, sedangkan Weber adalah idealisme-Historisisme; (b) tindakan sosial individu menurut Parsons adalah ditentukan oleh struktur sosial yang telah baku atau faktor eksternal mendeterminasi individu, sedangkan tindakan sosial rasional Weber adalah, bahwa individu bebas memilih, semua tindakan ditentukan faktor internal (jiwa, pikiran) manusia itu sendiri bukan lingkungan (Denzin, 1978; Iohnson, 1981). Berikut ini beberapa substansi pokok pikiran Weber dalam memahami fenomena perubahan sosial antara lain: Pertama; Weber melihat pola dan bentuk perubahan sosial sama seperti para teoritisi fungsional struktural, yaitu perubahan sosial dalam bentuk evolusi, tetapi paradigma yang dianut Weber bukan paradigma fakta sosial (positivistis) tetapi paradigma definisi sosial (interpretatif) (Ritzer, 2001; Giddens, 1987). Oleh karena itu pandangan Weber terhadap makna motivasi dan arti subyektif dalam melakukan proses analisis sosial adalah sangat penting. Kedua; Weber memilih konsep rasionalitas sebagai titik pusat perhatian utamanya.

Konsep rasionalitas bagi Weber adalah sama pentingnya dengan konsep “solidaritas” bagi Durkheim.Tindakan manusia terbagi menjadi dua, yaitu tindakan tidak rasional dan tindakan rasional. Tindakan rasional inilah yang membawa ke arah perubahan sosial secara kualitatif- akumulatif (Wr ong, 197 0 ; |ohson, 1 9 B 1 ). Ketiga; Bagi Weber, kenyataan sosial (social reality) secara mendasar terdiri dari individu-individu dan tindakan-tindakan sosialnya. |adi, makna’tindakan sosial’bagi weber adalah “apabila semua individu dalam bertindak itu memberikan arti subyektif kepada tindakan itu”. Karena arti subyektif tadi dihubungkan dengan individu yang bertindak dan memperhitungkan reaksi tindakan orang lain serta diarahkan.

Ide dasar pilihan rasional adalah tindakan individu dipengaruhi oleh pertimbangan-pertimbangan tertentu dengan suatu tujuan sehingga dengan adanya tujuan tersebut terbentuklah pilihan-pilihan dalam bertindak.[4]

Ketujuh; Menurut Webet hal yang penting perlu diperhatikan dalam memahami tindakan sosial individu adalah: (1) dalam tindakan sosial tersebut di atas, bisa terjadi tindakan satu mengkait pada tindakan yang lain, misalnya tindakan tradisional mengkait tindakan rasional yang berorientasi nllai; (2) pola perilaku khusus yang dilakukan beberapa individu, bisa berbeda karena orientasi, motivasi, dan tujuan subyektif clan individu yang berbeda; dan (3) tindakan sosial dapat dimengerti hanya menurut arti subyektif (verstehen) dan pola motivasional individu (Wrong, 1970; Giddens, 1985). Kedelapan; Perubahan secara evolusi lebih berbentuk rasional dalam tindakan sosial (aksi sosial). Hal ini berakar dari proses persaingan yang menghasilkan seleksi atas individu yang berkualitas. weber memandang rasionalitas sebagai hasil dari berbagai tipe birokrasi (struktur dalam tindakan sosial yang didefinisikan dengan teliti oleh peranan sistem aturan, norma dan sanksi). oleh karena itu proses evolusi masyarakat dalam hal ini dapat dikontrol, dikendalikan cian bersifat impersonal (birokratik) dalam merespon kebutuhan efisiensi ekonomi dengan industrialisasi. |adi, ada dua tipologi utama pandangan weber, yaitu tipe tindakan sosial dan model birokrasinya (Rossides,lgTB; Kinloch,2005). Kesembilan; struktur sosial dalam pandangan weber adalah didefinisikan dalam istilah-isrilah yang bersifat probabilistik dan bukan sebagai suatu kenyataan empirik atau realitas berlansung dan terlepas dari individu (seperti pemahaman kaum positivis).


[1] Lorentius, Jurnal Katekese dan Pastoral, “Perubahan Sosial dalam Kehidupan Masyarakat”, Vol. 2, No. 2, 2017, Hlm. 53-67.

[2] Ahmad Shofituddin Ichsan, Jurnal Al-Adyan, “Memahani Struktur Sosial Keluarga Di Yogyakarta (Sebuah Analisa dalam Pendekatan Sosiologi: Struktural Fungsional), Vol. 5, No. 2, Tahun 2018

[3] Julio Eleazer Nendissa, Jurnal Sejarah, Sosiologi dan Perpustakaan, “Teori Konflik Sosiologi Modern terhadap Pembentukan Identitas Manusia”, Vol. 4, No. 3, Tahun 2022

[4] Sugeng dan Mangihut, Jurnal Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, “Pemahaman Korupsi dalam Teori Pilihan Rasional dan Hubungan Prinsipal-Agen” Vol. 2, No. 2, Tahun 2022