Ditulis oleh Dr. Mohd. Rafiq, M.A | Dosen UIN Syahada Padangsidimpuan
Pendahuluan
Ada sebuah pertanyaan yang menarik di musim haji ini bila korelasikan dengan fenomena kehidupan kita yang multi kritis, khususnya keprihatinan kondisi ekonomi masyarakat. Yakni jeritan tangis akibat kekurangan ekonomi masyarakat. Yakni jeritan tangis akibat kekurangan ekonomi, di berbagai sektor senantiasa menggaung, tetapi kenapa data statistik orang yang melaksanakan haji tiap tahunnya terus meningkat dan melonjak?
Bukankah biaya ongkos haji bisa kita standarkan dewasa ini bagi negara kita adalah suatu yang sulit terjangkau? Asumsi awal, jawaban kita mungkin cenderung subjektif yakni bahwa boleh jadi bagi orang yang melaksanakan haji itu adalah refleksi kesadaran bagi orang-orang kehidupannya yang tidak tersentuh dengan hambatan ekonomi (kelas elit, birokrat/bangsawan) atau mungkin yang kita harapan mereka yang berhaji karena kesadaran akan nilai spritualitas ibadah itu yang tinggi.
Oleh sebab itu, bicara soal spritualitas, Islam mengajarkan satu ibadah yang bernilai spritualitas dengan tinggi, bahkan tertinggi dibanding ibadah lainnya, yakni ibadah haji. Ini juga menunjukkan bahwa spritualisme adalah hal yang mutlak dalam ibadah. Tanpa spritualisme ibadah tak ada artinya. Sebalikya, spritualisme ada pada saat kita akan memulai ibadah. Perwujudan spritualisme dalam ibadah ini, adalah niat. Dalam konteks ini, ada penegasan dari Rasulullah, innamal a’malu binniyati, perbuatan itu tergantung pada niatnya.
Spritualitas ini dibahas dalam tasawuf, sebagaimana Imam al-Ghazali menuangkan pandangannya mengenai spritualitas antara lain dalam karyanya Ihya-‘Ulumuddin. Pada kitab ini ada bagian asraru’i ibadah atau rahasia ibadah, kajian yang menekankan uraiannya pada aspek-aspek spritual dalam ibadah.
Spritual dalam Ibadah Haji
Apa yang dikupasnya tak ditemukan dalam kajian fikih secara detail, kecuali dalam tasawuf. Tasawuf sendiri membahas segala sesuatu menyangkut pergerakan hati atau batin manusa sebagai daerah spritualisme. Menyangkut persiapan haji, ada yang luput dari perhatian kita. Sebagaimana kita akan shalat, ada yang harus dipersiapkan, antara lain berwudhu’, dan kita juga harus adzan, lalu iqamah. Hal-hal semacam ini termasuk dalam persiapan yang memasuki pintu gerbang shalat. Dalam rangkaian adzan dan iqamah ada sesuatu yang amat penting.
Kalimat-kalimat adzan maupun iqamat mengandung aspek peremajaan komitmen keimanan kita, di dalamnya ada syahadat sebagai pangkal keimanan. Menghayati kalimat demi kalimat sejak kita mendengar adzan, iqamah, adalah dalam rangka mempersiapkan sepenuhnya kondisi batin kita untuk beribadah. Demikian pula ketika kita akan menunaikan ibadah haji. Persoalan rohani juga tak boleh diabaikan. Minimal ketika kita mulai miqat -garis perbatasan ketika masuk wilayah ibadah haji- kita harus mulai mengucapkan kalimat “labbaik, Allahumma labbaik”.
Ketika itulah kita harus menghayati pengucapan kalimat ini, karena penghayatan yang mendalam akan mendorong keimanan kita guna memenuhi panggilan Allah. Ketika kita menjiwainya, batin kita didorong memasuki pintu gerbang ibadah haji. Namun bukan ini saja yang dimaksud persiapan rohani. Kita berpedoman pada al-Qur’an, terutama dengan menghayati ayat-ayat haji. Antara lain firman Allah, watazawwaduu fainna khairazzadit taqwaa (Q.S. Al-Baqarah: 197), sediakanlah bekal, dan sebaik-baik bekal adalah takwa. Allah berfirman, “Sedikanlah bekal”, karena salah satu unsur haji adalah perjalanan.
Karena itu pula, seorang hamba harus berkesanggupan, istitha’ah, menempuh perjalanan yang bukan sekedar pengembangan, atau wisata fisik tapi juga rohani. Bekal jasmani dan materi memang perlu, tetapi bekal takwa sangat penting. Penjabarannya, orang yang mempersiapkan diri untuk melakukan ibadah haji, perbanyaklah istighfar kepada Allah. taubat adalah wujud menyucikan batin, juga adalah terminal pertama dalam tasawuf. Bertaubat artinya membersihkan diri dari noda. Yang lebih ekstrim lagi, termasuk persiapan haji, melunasi utang-utang yang bersangkutan, baik utang kepada Allah maupun utang kepada sesama manusia. Utang kepada manusia ini dirinci lagi dengan hal yang disebut raddul madhaalim, mengembalikan segala sesuatu terutama harta benda yang diperoleh secara tidak sah. Inipun sangat dianjuran.