KERJA DALAM PERSPEKTIF ISLAM

[vc_row][vc_column][vc_custom_heading text=”Drs. H. Agus Salim Lubis,M.Ag” font_container=”tag:h2|text_align:center|color:%233faa05″][vc_text_separator title=”Wakil Dekan bidang AUPK FDIK IAIN Padangsidimpuan” color=”vista_blue” style=”shadow” border_width=”9″][/vc_column][/vc_row][vc_row][vc_column width=”1/3″][vc_single_image image=”12045″ img_size=”medium” alignment=”center” style=”vc_box_shadow_3d”][/vc_column][vc_column width=”2/3″][vc_wp_text]

 Setiap manusia selalu dihadapkan kepada kebutuhan jasmani dan rohani. Semakin tinggi kuantitas dan kualitas terpenuhinya kebutuhan jasmani dan rohani tersebut, maka semakin tinggi kesejahteraan dan kebahagiaan hidup tercapai. Sebaliknya, jika dua kebutuhan tersebut tidak terpenuhi dalam batas yang layak, maka manusia akan merasakan penderitaan.

Untuk dapat memenuhi kebutuhan hidup, manusia harus berusaha dan bekerja secara baik. Tanpa usaha dan kerja yang sungguh-sungguh, maka pemenuhan kebutuhan hidup, baik berupa kebutuhan jasmani maupun kebutuhan rohaniah sangat sulit tercapai. Namun dalam kenyataannya, tidak sedikit umat manusia, termasuk di dalamnya umat Islam yang malas berusaha dan bekerja. Bahkan cukup banyak yang sudah berstatus Aparat Sipil Negara atau Pegawai Negeri Sipil yang bermalas-malasan dalam bekerja.

[/vc_wp_text][/vc_column][/vc_row][vc_row][vc_column][vc_tta_tabs style=”modern” shape=”square” color=”green” spacing=”4″ gap=”1″ autoplay=”3″ active_section=”1″ pagination_style=”flat-square” pagination_color=”sandy-brown”][vc_tta_section title=”Halaman 1″ tab_id=”1543573635766-28f62ff5-0821″][vc_wp_text]Dalam kaitannya dengan hal tersebut, maka melalui tulisan yang sangat sederhana ini akan dibahas tentang Kerja Dalam Perspektif Islam. Hal ini dimaksudkan untuk menjadi bahan pemikiran kepada umat Islam, khususnya yang berstatus Aparat Sipil Negara atau Pegawai Negeri Sipil agar dapat memelihara dan meningkatkan kuantitas serta kualitas kinerjanya. Karena Yusuf al-Qardhawi dalam buku berjudul “Peran Nilai dan Moral dalam Perekonomian Islam” ada menjelaskan bahwa “Islam mendorong pemeluknya untuk berproduksi dan menekuni aktivitas ekonomi dalam segala bentuknya; seperti pertanian, peternakan, berburu, industri, perdagangan, dan berbagai bidang keahlian lainnya. Islam mendorong setiap amal perbuatan yang menghasilkan benda atau pelayanan yang bermanfaat bagi manusia dan menjadikannya lebih makmur dan sejahtera. Bahkan Islam memberkati perbuatan duniawi ini dan memberi nilai tambah sebagai ibadah kepada Allah dan jihad di jalan-Nya”.

B. Pengertian Kerja

Secara umum dan sederhana, kerja dapat diartikan melakukan suatu kegiatan dengan menggunakan kekuatan fisik dan atau daya mental untuk mendapatkan sesuatu yang diharapkan. Hasan Shadily dalam buku “Ensiklopedi Indonesia” mengartikan kerja sebagai pengerahan tenaga (baik jasmani maupun rohani) yang dilakukan untuk menyelenggarakan proses produksi. Selain itu, bekerja juga dapat bermakna melakukan kegiatan dengan maksud memperoleh atau membantu memperoleh penghasilan atau  keuntungan. Kemudian Yusuf al-Qardhawi dalam buku (terj) “Kiat Islam Mengentaskan Kemiskinan” menguraikan bahwa kerja adalah suatu usaha yang dilakukan seseorang, baik sendiri atau bersama orang lain, untuk memproduksi suatu komoditi atau memberi jasa.

Berdasarkan uraian di atas dapat ditarik suatu pemahaman, yakni: 1). Kerja itu merupakan aktivitas bertujuan dan dilakukan secara sengaja. 2). Kerja dalam konteks ekonomi merupakan usaha menyelenggarakan proses untuk menghasilkan sesuatu (upaya memperoleh hasil). 3). Kerja  dapat  bersifat lahir (fisik) dan batin (non fisik).

[/vc_wp_text][/vc_tta_section][vc_tta_section title=”Halaman 2″ tab_id=”1543573635766-d19060a5-b125″][vc_wp_text]

Dalam pandangan Islam, kerja dapat dibagi dua macam, yaitu kerja lahir dan kerja batin. Kerja lahir merupakan aktivitas fisik, anggota badan, termasuk panca indera seperti melayani pembeli di toko, mencangkul di kebun, mengajar di sekolah, mengawasi anak buah bekerja, dan lain-lain. Kerja batin adalah bekerja dengan menggunakan daya batin. Hal ini terbagi kepada dua macam, yakni: 1. kerja otak, seperti belajar, berfikir kreatif, memecahkan masalah, menganalisis dan mengambil kesimpulan. 2. Kerja qalb, seperti berusaha menguatkan kehendak mencapai cita-cita, berusaha mencintai pekerjaan dan ilmu pengetahuan, sabar dan tawakkal dalam rangka menghasilkan sesuatu.

C. Kedudukan Kerja dalam Islam

Dalam buku “Islam Etos Kerja dan Pemberdayaan Ekonomi Umat”, Musa Asy’arie menuliskan bahwa manusia adalah homo faber (makhluk bekerja). Dengan bekerja manusia menyatakan keberadaannya dalam kehidupan masyarakat. Dengan landasan pernyataan ini dapat diambil suatu pemahaman bahwa orang-orang yang tidak melakukan aktivitas kerja dan atau orang yang memiliki pekerjaan tetapi malas bekerja adalah orang-orang yang nilai kemanusiaannya kurang baik. Dengan hal itu juga, keberadaannya dalam kehidupan masyarakat tergolong lemah.

[/vc_wp_text][/vc_tta_section][vc_tta_section title=”Halaman 3″ tab_id=”1543573649072-afb08758-6439″][vc_wp_text]

Selanjutnya Hamzah Ya’qub menegaskan bahwa bekerja menurut Islam adalah sesuatu yang sudah ditakdirkan pada diri umat manusia. Bekerja adalah sesuai dengan kodratnya sekaligus menjadi cara untuk memperoleh kebahagiaan dunia dan akhirat, lahir dan batin. Ajaran Islam mendorong semua orang supaya berusaha secara sungguh-sungguh dan tekun dalam untuk menguasai pekerjaannya. Setiap individu  muslim tidak dapat dipisahkan dengan kerja. Bekerja mengandung makna menjunjung martabat kemanusiaannya. Setiap muslim akan kehilangan martabat kemanusiaannya bila tidak mau dan atau malas bekerja.

Dari penjelasan tersebut, berati orang-orang yang tidak mau dan atau malas berkerja adalah orang yang mengabaikan kodrat atau fitrahnya. Mereka itu adalah orang-orang yang hanya lahirnya saja menginginkan kebahagiaan di dunia dan akhirat, tetapi secara hakikinya ia tidak sungguh-sungguh ingin mendapatkan kebahagiaan tersebut. Dengan itu pula martabat kemanusiaannya menjadi kurang baik atau lemah.

Seiring dengan penjelasan di atas, Musa Asy’arie menegaskan bahwa sesungguhnya dalam perspektif Islam, bekerja itu dapat mengandung nilai ibadah atau merupakan bahagian dari amal shaleh. Selayaknya seseorang muslim itu bekerja bukan karena ketakutan atas kemiskinan. Demikian pula bekerja dengan sungguh-sungguh dan tekun bukan semata-mata untuk mendapatkan harta kekaayaan, tetapi bekerja sebagai tuntutan kualitas manusia untuk beribadah yang sesungguhnya berkaitan dengan kualitas spiritual manusia.

Berdasarkan uraian-uraian di atas, dapat diambil suatu pemahaman, bahwa tinggi atau rendahnya martabat dan kualitas hidup seorang muslim sangat dipengaruhi oleh amal atau kerjanya. Hal ini sejalan dengan yang ditegaskan Allah Swt dalam al-Quran Surah Al Aḥqāf ayat 19 (yang artinya) “Dan bagi masing-masing mereka derajat menurut apa yang telah mereka kerjakan dan agar Allah mencukupkan bagi mereka (balasan) pekerjaan-pekerjaan mereka sedang mereka tiada dirugikan”. Sejalan dengan itu, dalam sebuah hadis Rasulullah SAW bersabda “Sesungguhnya Allah telah mewajibkan kamu berusaha, maka oleh karena itu hendaklah kamu rajin berusaha.” Ayat dan hadis  ini mengandung suatu penegasan bahwa amal atau kerja mempunyai makna eksistensial dalam hidup dan kehidupan seorang muslim. Tidak diragukan lagi, ajaran Islam benar-benar mendorong dan mewajibkan umat Islam untuk rajin bekerja.

[/vc_wp_text][/vc_tta_section][vc_tta_section title=”Halaman 4″ tab_id=”1577779842544-07d93551-d0ac”][vc_wp_text]

Sesuai dengan keberadaan bekerja yang merupakan suatu kewajiban menurut ajaran Islam, maka Yusuf al-Qardhawi mengungkapkan  bahwa bekerja adalah bagian dari ibadah. Sejalan dengan itu Toto Tasmara, menyatakan seorang muslim dalam bekerja harus dengan mengerahkan semua aset, pikir dan zikir. Namun demikian, menurut Muhammad  Quraish Shihab menambahkan, supaya kerja yang dilakukan seseorang muslim memiliki nilai ibadah maka dalam melaksanakan suatu pekerjaan tersebut haruslah disertai dengan keikhlasan.

Dalam kajian Fiqh, sesuatu yang diwajibkan bila dikerjakan secara benar dan baik akan menghasilkan kebaikan atau pahala dari Allah Swt; sebaliknya bila ia ditinggalkan atau diabaikan, maka akan menghasilkan keburukan atau dosa. Dengan kerangka berpikir tersebut, malas bekerja atau melalaikan pekerjaan adalah suatu perbuatan dosa. Berarti orang-orang yang malas atau tidak mau bekerja secara sungguh-sungguh adalah orang-orang yang berdosa dan tidak membutuhkan pahala dari Allah Swt.

Penutup

Setiap muslim yang sehat akal pikiran dan hati nuraninya pasti menginginkan suatu kebahagiaan di dunia dan akhirat. Untuk mendapatkan itu harus menjalankan dan mematuhi ketentuan-ketentuan yang ada di dalam ajaran Islam, termasuk ketentuan yang berkaitan dengan kerja. Karena bekerja itu termasuk sesuatu yang diwajibkan, maka seseorang muslim itu haruslah melaksanakan pekerjaan yang telah dimilikinya secara sungguh-sungguh dan tekun. Adapun seseorang muslim yang belum mendapatkan pekerjaan, mereka harus tekun dan bersungguh-sungguh berupaya mendapatkan pekerjaan dengan dibarengi doa yang sungguh-sungguh kepada Allah Swt. Kesungguhan berupaya mendapatkan pekerjaan itu juga sudah mengandung nilai ibadah.

[/vc_wp_text][/vc_tta_section][/vc_tta_tabs][/vc_column][/vc_row]